
Gencarnya pemberitaan tentang jembatan roboh diberbagai daerah beberapa waktu lalu. Mengingatkan saya pada sosok asing yang satu ini.
Karena didorong rasa keprihatinannya dan empati yang mendalam. Dia rela merogoh kocek pribadi nya untuk membangun jembatan gantung di Desa Pasrujambe, Lumajang, Jawa Timur.
Tak tanggung-tanggung, jembatan gantung konstruksi baja dengan sistem knock down sepanjang 96 m itu didatangkan langsung dari Swiss.
Dia prihatin melihat warga desa setempat, jika berpergian ke desa seberang harus melewati sungai Besuk Sat, yang notabene adalah jalur aliran lahar dari Gunung Semeru. Bisa saja sewaktu-waktu, ketika mereka nyeberang terseret aliran lahar dingin yang datang secara tiba-tiba dari puncak Semeru.
Maka sukacita lah masyarakat Desa Pasrujambe, rame-rame mereka bergotong royong, membantu pemasangan jembatan gantung tersebut. Ada 200 orang lebih, bekerja selama lima hari, tanpa dibayar.
Dalam waktu singkat (4 jam), bentang tengah jembatan gantung pun selesai dikerjakan. Jembatan yang diidam-idam warga sejak lama, dan hanya dijanji-janjikan pemerintah, tapi tak pernah terwujud.
Dan, ketika jembatan diresmikan (14 september 2011) oleh Bupati Lumajang, Sjahrazad Masdar, dalam sambutannya (dengan mimik innocent) dia mengatakan; “Saya sangat mengapresiasi masyarakat Pasrujambe yang sudah membangun jembatan dengan bantuan material dari orang luar negeri”. Satu ucapan yang mempermalukan diri sendiri sebenarnya. Mestinya itu jadi tanggung jawab dia sebagai kepala daerah. Membangun infrastruktur bagi warga nya. Bukan menunggu bantuan orang asing.
Lalu, siapakah sosok asing itu? Dia adalah Toni Rotiman, warga berkebangsaan Swiss, dibantu asistennya warga negara Myanmar.
Andai para birokrat di negeri ini setanggap Toni Rotiman. Musibah yang menimpa warga Kampung Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Bogor (karena menyeberang jembatan kayu yang sudah lapuk, sehingga menelan korban jiwa sebanyak 8 orang meninggal dunia) tidak bakal terjadi. Juga, anak-anak Dusun Cadas Bodas, Kecamatan Cibalong, Garut, pulang pergi ke sekolah harus berjibaku melintasi “Jembatan Indiana Jones”.
Andai saja para birokrat kita tanggap. Bukan sekedar tanggap darurat seperti yang sering digembar-gemborkan selama ini. Sebatas jargon belaka.
Andai saja para birokrat kita tanggap………..
No comments:
Post a Comment