Kalau di Prancis ada kapel Ronchamp nya Corbusier, maka di Indonesia juga punya, yaitu gereja Santa Maria Puh Sarang Kediri karya arsitek Henri Maclaine Pont. Kedua bangunan ini bisa disejajarkan bukan karena bentuknya, tapi karena sama-sama dibangun dengan mengedepankan interaksi terhadap lingkungan alam sekitar, budaya, dan kearifan lokal (local wisdom). Keagungan bangunan ini bukan karena kemegahannya, tapi dikarenakan kesederhanaan dan kebersahajaannnya, begitu damai dan sakral.
Sejarah, filosofi, budaya dan penghayatan iman tertata unik dan monumental dalam bangunan gereja. Gaya bangunan era Majapahit diusung dalam ornamen-ornamen sakral.
Dibangun tahun 1936 di kaki gunung Wilis, Kediri, Gereja Puh Sarang merupakan intiative project dari pastur Jan Wolters CM dan arsitek Henri Maclaine Pont, yang sebelumnya mendirikan Museum Trowulan Mojokerto. Keduanya memang sangat intens pada budaya Jawa. Perpaduan pemahaman dan apresiasi budaya Jawa dan penghayatan iman Katolik diaplikasikan pada bangunan hingga melahirkan gereja Santa Maria Puh Sarang yang sarat makna.
Material batu hitam utuh (bronjol besar) nampak mendominasi keseluruhan dinding bangunan. Batu-batu ini berasal dari daerah sekitar yang melimpah. Susunan batu-batu ini terlihat natural dan adem menempel di gapura Santo Yusuf dan menara Santo Hendrikus. Begitu kondusif untuk tempat ibadah dan bertemu dengan Sang Khalik.
Bentuk atap bangunan yang 'nyeleneh', setengah lingkaran besar dengan tatanan genteng melengkung ditambah dengan 'topi' bersudut empat, merupakan simbolisasi dari kapal Nabi Nuh yang selamat dari bencana air bah dan terdampar di gunung Arafat. Keempat sudut 'Bahtera Nuh' merupakan simbolisasi empat penulis Injil yang bernaung dibawah salib.
Memasuki bangunan gereja terdapat rangkaian relief dari bata merah, seperti yang umum ditemukan di candi-candi era Majapahit. Relief-relief yang ada merepresentasikan tentang penghayatan iman Kristiani, dan sebagai sarana untuk mengajar umat.