Beberapa hari lalu, saya iseng membuka blog dari teman-teman yang pernah berkunjung ke wisata Air Terjun Madakaripura Probolinggo Jatim. Rata-rata mereka sangat kecewa dengan pengelolahan tempat wisata tersebut, yang menerapkan sistem premanisme.
Tahun 2008 yang lalu saya dan istri berwisata ke Madakaripura. Maunya sih bersantairia, tapi apa yang kami dapat malah sebaliknya (kami mersakan apa yang teman-teman rasakan).
Setelah membayar tiket masuk dengan harga normal/wajar, mobil saya parkir, kami didatangi beberapa pemuda yang menawari jasa guide, dengan halus kami menolaknya (karena kami ingin santai).
Mereka memaksa, dengan imbalan seadanya, katanya. Dan berulang kali saya katakan tidak butuh guide, mereka tetap memaksa, sementara dikejauhan gerombolan teman-temannya selalu menatap kita kala transaksi dengan sorot mata yang mengintimidasi.
Risih jadinya, dengan perasaan dongkol dan sangat terpaksa kami terima juga jasa preman yang berkedok sebagai guide.
Sebenarnya, tanpa jasa pemandu pun orang pasti tahu koq lokasi air terjun itu. Dengan menyusuri aliran sungai dan jalan setapak yang ada, gak bakal tersesat.
Begitu kami sudah mendekati air terjun, kami 'disambut' jasa persewaan payung. Karena sebelum sampai air terjun utama kita harus melewati anak air terjun yang memercikkan air, seperti air hujan.
Okelah jasa payung ini masih bisa diterima kalau ga ingin basah kuyup, lima ribu rupiah berdua.
Madakaripura begitu indah dan menakjubkan, sayang kami ga bisa berlama-lama di tempat ini. Bukan apa-apa, risih ditunggui 'guide'.
Kembali ke parkiran, barulah guide buka harga yang katanya dia bilang sekedarnya, diklasih 10 ribu emoh, minta 20 ribu (sekarang 50-100 ribu). Urusan dengan guide selesai, ganti pemuda lain mendatangi kami ketika mau masuk mobil, nodong uang cuci mobil (padahal saya tidak pernah nyuruh cuci), entah dicuci bener atau asal (10 ribu keluar lagi dari dompet), mungkin sekarang 20-30 ribu / mobil, kayak nyuci di car wash di kota saja.
Memetik pengalaman tersebut diatas, perlu kiranya pihak terkait khususnya dinas pariwisata setempat, (Probolinggo) menertibkan praktek premanisme ini. Karena akan merugikan pengunjung dan membuat enggan wisatawan untuk datang kembali. Dan, dari beberapa lokasi wisata air terjun yang pernah saya datangi tidak pernah ada praktek premanisme semacam ini. Bagaimana industri pariwisata kita bisa maju, kalau pengelolahannya seperti ini. Karena ini bukan masalah pungutan liar itu saja, ada yang lebih penting dari itu,yaitu kenyamanan dan privasi pengunjung.
Semoga menjadi perhatian dan bisa dibenahi dan dikemas secara profesional.