
Belum lama ini saya mencoba bernostalgia, nyebrang ke Madura via penyebrangan Ujung - Kamal (UK) dengan kapal feri. Dalam bayangan saya setelah adanya Jembatan Suramadu (JS) keberadaan jasa penyebrangan ini bakal kehilangan pamor dan perlahan-lahan akan redup sebelum kemudian ditutup. Ternyata perkiraan saya salah.
Penyebrangan UK masih diminati warga. Buktinya antrian panjang kendaraan bermotor dan penumpang masih terjadi (apa karena ini hari Minggu dan banyak warga Madura yang mudik). Meski tidak sepadat dan seramai dulu ketika JS masih belum dibangun.

Ada 2 alasan kenapa penyebrangan UK masih eksis.
Pertama ; Lebih dekat bagi mereka dengan tujuan Madura bagian Barat seperti Kamal, Socah, Bangkalan, Arosbaya dan derah pesisir Barat Madura lainnya.
Kedua ; Ketentuan trayek bagi PO bus tertentu dengan tujuan Jawa - Madura atau sebaliknya.
Satu alasan diatas selain bernostalgia yang memicu saya menggunakan jasa penyebrangan UK, yaitu lebih dekat. Karena tujuan saya kali ini ke desa Sembilangan kecamatan Socah kabupaten Bangkalan. Sembilangan terletak ditengah-tengah antara Socah (Selatan) dan Bangkalan (Utara) berjarak 6 KM an dari kedua kota tersebut kearah Barat.
Ada satu situs bersejarah yang berusia lebih dari satu abad disini, namanya Mercusuar Sembilangan (MS). Sebagaimana mercusuar umumnya yang ada di Indonesia, MS merupakan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Dibangun tahun 1879 oleh ZM Willem III sebagaimana terlihat pada prasasti yang tertera diataspintumasuk mercusuar.


Total ketinggian MS kurang lebih 76 M. Mercusuar ini mempunyai balkon selebar 1 M yang melingkari lantai 16. Dari balkon ini kita bisa menikmati panorama indah dan menakjubkan ke segala arah dengan mengelilingi balkon yang ada. Menyenangkan melihat lalu lalang kapal yang melintasi perairan ini, Selat Madura menuju dan meninggalkan Pelabuhan Tanjung Perak.

Secara keseluruhan fisik bangunan MS masih terpelihara dengan baik, terlihat dari dindingnya relatif bersih / tidak kusam pertanda sering dilakukan pengecatan secara berkala. Meski di beberapa sudut ruang (interior) masih saja dijumpai coretan / vandalis yang seharusnya tidak perlu ada yang dilakukan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Problem klasik lainnya adalah sampah ada dimana-mana, di pelataran dan di bibir pantai depan mercusuar. Yang lebih memprihatinkan, tanaman mangrove / bakau yang dulunya lebat (beberapa tahun yang lalu saya pernah kesini) sekarang hampir punah, dibabat habis dan kayunya dijual oleh oknum pejabat pemerintah setempat (saya dapat bocoran dari salahsatu penjaga mercusuar yang ga mau disebut namanya). Lebih heboh lagi, pantai depan mercusuar dan sekitarnya sudah dijual ke pihak investor. Rencananya akan dibangun dermaga peti kemas sebagai perluasan dari Pelabuhan Tanjung Perak yang overload, sudah tidak mampu lagimendukung arus bongkar-muat peti kemas.

Pembangunan kearah itu sudah dimulai, ditandai dengan patok-patok beton bahkan sebagian sudah ditanggulsebagai batas reklamasi nantinya. Dilematis, padahal dikawasan pantai lainnya (Pamurbaya, Pantai Timur Surabaya) reboisasi hutan bakau sedang gencar-gencarnya digalakkan.
Harusnya bangunan warisan masa lalu (heritage) dan masuk kategori bangunan yang dilindungi (cagar budaya) apalagi mercusuar seperti ini wajib hukumnya steril dari bangunan lain, apapun bentuk bangunan itu sejauh radius sekian ratus meter atau lebih. Karena apabila itu terjadi dikhawatirkan fungsi mercusuar sebagai lampu signal untuk memandu lalu lintas kapal di perairan ini tidak bakal optimal, rancu oleh keberadaan lampu-lampu lain dari bangunan sekitar mercusuar. Atau kita tidak butuh lagi mercusuar karena teknologi sudah menemukan penggantinya yaitu GPS.

