Friday, December 16, 2011

The Glorious Martin Luther Church


Martin Luther Church Hainburg by Coop Himmelb(l)au

Bangunan gereja ini tidak begitu besar dalam skala lingkungan sekitar, yang ditumbuhi gedung-gedung tua berusia ratusan tahun. Namun kehadirannya sempat mencuri perhatian, karena bentuknya yang kontemporer dan inovatif. Beda dengan lingkungannya yang konvensional. Ini memberikan warna visualisasi lain disudut kota, menyerupai sculpture.

Martin Luther Church Hainburg by Coop Himmelb(l)au


Tak heran jika gereja ini menerima penghargaan arsitektur bergengsi di Austria. Komtur Cross in Silver of the Decoration for Services to the State of Lower Austria. Itulah penghargaan yang diberikan kepada Wolf D. Prix, sang arsitek terkenal dari biro arsitektur COOP HIMMELB(L) AU.
"Wolf D. Prix adalah arsitek terkenal berskala internasional yang telah menghasilkan banyak karya dan penghargaan sepanjang karirnya" puji Dr. Erwin Proll, gubernur Lower Austria dalam sambutannya di St. Polten, beberapa bulan lalu. Dia juga menyampaikan ucapan terimakasih yang sangat dalam atas sumbangsih Prix dalam memperkaya dunia arsitektur di Lower Austia.

Martin Luther Church Hainburg by Coop Himmelb(l)au


Bagi sang arsitek sendiri, tumbuh dan besar di Lower Austria memang meninggalkan begitu banyak kesan yang terus menetap di dalam kehidupannya. "Karakteristik negara bagian Lower Austria yang unik dan berbeda sangat menarik buat saya", demikian ujar Prix.
Kontribusi Prix dalam merancang gereja Martin Luther di tanah kelahirannya memang pantas diacungi jempol.
Dalam waktu yang relatif singkat, kurang dari setahun, gereja ini telah berdiri megah di kota Hainburg, pusat Lower Austria.

Martin Luther Church Hainburg by Coop Himmelb(l)au


Wujud bangunan gereja yang mengambil inspirasi dari bentuk 'meja' besar terlihat unik dengan seluruh konstruksi atap bertumpuh pada empat kolom baja yang menjadi kaki-kaki meja besar tersebut.

Martin Luther Church Hainburg by Coop Himmelb(l)au



Elemen penting lain yang mampu menarik perhatian adalah desain atap. Bentuknya yang plastis dan spiral menyerupai rumah siput dengan lubang bulat dibagian atas (ada 3 lubang), difungsikan sebagai skylight. Sinar yang jatuh kedalam ruang memberikan efek dramatis, menerangi altar dan sekitarnya.

Martin Luther Church Hainburg by Coop Himmelb(l)au



Dan yang tak kalah menarik adalah, menara loncengnya. Berdiri menjulang berdampingan dengan bangunan gereja, artistik dan unik bak sculpture menandai (landmark) kota Hainburg, Lower Austria.

Martin Luther Church Hainburg by Coop Himmelb(l)au



Martin Luther Church Hainburg by Coop Himmelb(l)au


Martin Luther Church Hainburg by Coop Himmelb(l)au


Martin Luther Church Hainburg by Coop Himmelb(l)au

Saturday, December 10, 2011

Madakaripura



Beberapa hari lalu, saya iseng membuka blog dari teman-teman yang pernah berkunjung ke wisata Air Terjun Madakaripura Probolinggo Jatim. Rata-rata mereka sangat kecewa dengan pengelolahan tempat wisata tersebut, yang menerapkan sistem premanisme.

Tahun 2008 yang lalu saya dan istri berwisata ke Madakaripura. Maunya sih bersantairia, tapi apa yang kami dapat malah sebaliknya (kami mersakan apa yang teman-teman rasakan).

Setelah membayar tiket masuk dengan harga normal/wajar, mobil saya parkir, kami didatangi beberapa pemuda yang menawari jasa guide, dengan halus kami menolaknya (karena kami ingin santai).
Mereka memaksa, dengan imbalan seadanya, katanya. Dan berulang kali saya katakan tidak butuh guide, mereka tetap memaksa, sementara dikejauhan gerombolan teman-temannya selalu menatap kita kala transaksi dengan sorot mata yang mengintimidasi.
Risih jadinya, dengan perasaan dongkol dan sangat terpaksa kami terima juga jasa preman yang berkedok sebagai guide.

Sebenarnya, tanpa jasa pemandu pun orang pasti tahu koq lokasi air terjun itu. Dengan menyusuri aliran sungai dan jalan setapak yang ada, gak bakal tersesat.

Begitu kami sudah mendekati air terjun, kami 'disambut' jasa persewaan payung. Karena sebelum sampai air terjun utama kita harus melewati anak air terjun yang memercikkan air, seperti air hujan.
Okelah jasa payung ini masih bisa diterima kalau ga ingin basah kuyup, lima ribu rupiah berdua.

Madakaripura begitu indah dan menakjubkan, sayang kami ga bisa berlama-lama di tempat ini. Bukan apa-apa, risih ditunggui 'guide'.

Kembali ke parkiran, barulah guide buka harga yang katanya dia bilang sekedarnya, diklasih 10 ribu emoh, minta 20 ribu (sekarang 50-100 ribu). Urusan dengan guide selesai, ganti pemuda lain mendatangi kami ketika mau masuk mobil, nodong uang cuci mobil (padahal saya tidak pernah nyuruh cuci), entah dicuci bener atau asal (10 ribu keluar lagi dari dompet), mungkin sekarang 20-30 ribu / mobil, kayak nyuci di car wash di kota saja.

Memetik pengalaman tersebut diatas, perlu kiranya pihak terkait khususnya dinas pariwisata setempat, (Probolinggo)  menertibkan praktek premanisme ini. Karena akan merugikan pengunjung dan membuat enggan wisatawan untuk datang kembali. Dan, dari beberapa lokasi wisata air terjun yang pernah saya datangi tidak pernah ada praktek premanisme semacam ini. Bagaimana industri pariwisata kita bisa maju, kalau pengelolahannya seperti ini. Karena ini bukan masalah pungutan liar itu saja, ada yang lebih penting dari itu,yaitu kenyamanan dan privasi pengunjung.
Semoga menjadi perhatian dan bisa dibenahi dan dikemas secara profesional.